rel='shortcut icon'/> aryudiwai mind: MY NAME ULAT BULU, I"AM NOT A TERORIST

April 23, 2011

MY NAME ULAT BULU, I"AM NOT A TERORIST

Posted by aryudiwai at 18.38
Nonton film My Name Is Khan? Tentu saja. Film bollywood ini mampu menyentuh hati dunia atas pesan moral yang coba disampaikan oleh Khan (Shah Rukh Khan) bahwa dia bukanlah seorang teroris. Cap itu sendiri otomatis melekat pada diri dan keluarganya yang kebetulan Muslim pascatragedi 11 September 2001. Padahal, Khan sama sekali tidak tahu menahu dengan peristiwa yang menewaskan lebih dari 2.000 jiwa ini. 

Tapi kok jadi cerita film ini ya? Tenang saja, SAYA hanya mencoba menerangkan latar belakang pengambilan judul tulisan ini yang dipinjam dari film My Name is Khan and I am Not a Terrorist.

Tulisan ini juga terinspirasi oleh dinamika kehidupan nasional bangsa kita yang punya musim-musim tertentu. Tidak hanya musim hujan, panas, kemarau, atau musim rambutan dan durian; negara ini juga punya musim bencana alam, musim gempa, musim longsor, musim tsunami dan musim ledakan bom. Entah disengaja atau tidak, tapi yang pasti 236 juta jiwa (sensus penduduk 2010) penduduk Indonesia sama merasakan fenomena alam di atas yang sepertinya tak kunjung berhenti.

Bila Jepang porak poranda dihantam tsunami dan ledakan PLTN di Fukhusima Jepang. Indonesia tidak mau kalah. Seakan ingin mengalihkan perhatian dunia terhadap gempa dan tsunami Jepang, oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab berusaha mencari perhatian media lewat ledakan bom dengan formula baru, “Bom Buku”.
Kendati dirancang tidak untuk penghancuran total, namun dampaknya cukup dirasakan masyarakat yang menghadirkan rasa panik, kekhawatiran berlebihan dan (dampak positifnya) kewaspadaan.

Sejak 2002, Indonesia sering diancam ledakan bom mulai dari skala besar, kecil, hingga yang tak jadi meledak. Lantas, apakah setiap upaya-upaya teror (baca: perusakan) yang datang silih berganti selalu kita sebut dengan teror? Tentu setiap orang punya jawaban yang berbeda.

Perbedaan itu sendiri juga dimunculkan oleh psikolog forensik pertama Indonesia, Reza Indragiri Amriel. Di saat mayoritas rakyat negeri ini satu suara menyikapi bom buku merupakan aksi teror, beliau justru menyebutnya sebagai sebuah aksi vandalism yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna sebatas aksi perusakan saja ( KAYAK SERANGAN ULAT BULU )

Ungkapan ini agaknya ada benarnya. Kesan yang muncul saat mendengar kata teror dengan kata vandalisme ( baca ulat bulu ) juga sangat berbeda. Psikolog forensik ini menuturkan, kendati sama-sama bertujuan memberi rasa takut dan ketidaknyamanan pada orang lain, namun kasus bom buku tidak masuk dalam ranah teror yang pelakunya akan disebut teroris. 
Bom buku tidak dirancang untuk membunuh dan melukai banyak orang, melainkan hanya sebatas mencederai dan memberi rasa takut. Indikator inilah yang membuat Reza Indragiri Amriel menggolongkan bom buku sebagai aksi vandalisme ( baca ulat bulu )

Amerika Serikat sebagai negara yang punya pengalaman terburuk dalam kasus teror tidak selalu menyebut serangan terhadap rasa aman sebagai aksi teror. Seperti serangan bom yang gagal di New York Times Square 2010 lalu, presiden AS Barack Obama tidak latah menyebutnya sebagai aksi teror melainkan aksi vandalisme. Sebutan ini justru berdampak pada respons masyarakat yang merasa nyaman dan tenang pascaupaya pengeboman itu. 

Aksi vandalisme yang disebut oleh Obama telah menghilangkan rasa khawatir akan tetapi tetap waspada bagi jutaan rakyat Amerika. Pelajaran yang dapat dipetik di sini adalah, sebagai bangsa yang tak pernah berhenti belajar dari sejarah pahit dan manis, para pemimpin bangsa ini baik sipil maupun militer, orang kaya maupun rakyat jelata harus bisa mengklasifikasikan setiap keadaan sebelum mengambil kesimpulan, apakah itu tergolong aksi teror atau hanya sebatas upaya vandalisme( baca ulat bulu ).

Ketepatan mengambil kesimpulan itu jadi penting karena sangat memengaruhi langkah-langkah yang diambil masyarakat yang harapannya tidak menjadi paranoid tapi sebatas waspada dan selalu waspada.

Indonesia umumnya mudah terpengaruh pola pikir yang berkembang dewasa ini. Kasus nuklir, misalnya, Kendati dunia punya kenangan pahit atas ledakan nuklir di Hirosima-Nagasaki 1945 silam, tetapi tidak lantas menyimpulkan semua hal yang berhubungan dengan nuklir punya dampak layaknya Hirosima Nagasaki.

Ledakan nuklir 1945 Hirosima, tidaklah sama dengan ledakan nuklir di Fukhusima Jepang 2011. Begitu juga halnya dengan ledakan bom di Bali pada 2002, di kedutaan besar Australia pada 2004, dan di belahan bumi lainnya tidak bisa disamakan dengan ledakan bom buku di Utan Kayu, di rumah Dhani, atau di perumahan mewah Kota Wisata Jakarta. 

Subtansi semua kejadian itu memang memberikan rasa tidak nyaman, namun respons kita terhadap semua aksi di atas juga harus berbeda. Yang terpenting adalah antara aparat dan rakyat selalu waspada. Memang, setiap aksi melahirkan sisi positif bagi bangsa ini. Rakyat dan aparat menjadi menyatu. Aparat menjadi lebih responsif, rakyat menjadi lebih melek terhadap apa saja, dan ini harus dipertahankan. 

Sejatinya, di saat ancaman terhadap rasa aman datang, bersamaan dengan itu datang pula kewaspadaan, kepekaan, kepedulian, dan kesatuan antara rakyat dan aparat. Yang kita takutkan adalah ketika rakyat dan aparat telah sama-sama waspada, tidak lama setelah itu rakyat menurunkan tingkat kewaspadaannya dan mempercayakannya pada aparat.

Celakanya lagi, ketika rakyat telah mempercayakannya kepada aparat, mereka justru menurunkan kewaspadaannya. Hasilnya pun bisa ditebak, ketika rakyat dan aparat tak lagi kompak (baca: waspada) ancaman baru pun akan datang lagi. Ketika itu datang kita tinggal lihat apakah itu tergolong teror atau hanya vandalisme ( baca ulat bulu )

nb: mohon maaf kepada keluarga besar ulat bulu, karena menfitnah serangan ulat bulu sebagai tindakan vandalisme bukan terorisme.
 

aryudiwai mind Copyright © 2009 Blue Glide is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Journal